KabarIndonesia - Kemerdekaan Indonesia terjadi pada tanggal 27 Desember 1949, pada saat penyerahan kedaulatan di Istana Dam di Amsterdam. Bukan pada saat Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Demikian pernyataan Departemen Luar Negeri Belanda, menanggapi petisi 22 orang penulis, sejarawan dan ahli hukum terkemuka Belanda, dalam harian NRC Handelsblad, Selasa 22 Desember 2009. Menurut para pendukung petisi, pemerintah Belanda harus mengakui, bahwa proklamasi kemerdekaan tahun 1945 adalah suatu pernyataan sah. Selanjutnya Deplu Belanda menyatakan, pengalihan kedaulatan terjadi pada tanggal 27 Desember 1949.
Indonesia menerima pengalihan kekuasaan tersebut. Itu semua adalah kenyataan sejarah dan hukum. Kita tidak bisa mengubahnya, 60 tahun kemudian setelah peristiwa tersebut berlalu. Sementara menurut para penulis petisi, Belanda tidak bisa begitu saja menentukan saat kemerdekaan. Rakyat Indonesia telah menentukan sendiri, kapan mereka merdeka.
Sejumlah kaum intelektual dan penulis Belanda mengajukan petisi kepada pemerintah Belanda, agar Belanda mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Radio Nederland Wereldomroep menghubungi seorang tokoh yang ikut menandatangani petisi tersebut, yakni Prof. Dr. Nico Schulte Nordholt, yang menjelaskan mengapa harus diajukan petisi tersebut dan apa maknanya. Serta ikuti juga pendapat seorang sejarawan, Rusdy Husain. 27 Desember 1949
Yang mendorong para intelektual dan penulis Belanda mengajukan petisi adalah kesadaran pada 27 Desember, 60 tahun yang lalu, pada Konferensi Meja Bundar di Amsterdam ditandatangani suatu penyerahan kedaulatan kepada RIS. Dengan demikian sebetulnya pada waktu itu pemerintah Belanda semestinya mengakui hak rakyat Indonesia, untuk memproklamirkan kemerdekaannya 17 Agustus 1945.
Dalam sejarah kemudian, setelah 1949 itu, pemerintah Belanda sampai hari ini, belum pernah sampai berani atau besar hati untuk mengakui kelalaian pada waktu itu. Karena ada peringatan 27 Desember yang ke-60 tahun, maka mereka ingin supaya hal itu diselesaikan secara tuntas dengan pengakuan hari Kemerdekaan 17 Agustus itu.
Nico Schulte Nordholt menyadari bahwa hubungan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda, sudah sangat membaik, setelah pada tahun 2005 Menteri Luar Negeri Ben Bot hadir pada upacara 17 Agustus itu di Medan Merdeka, Jakarta. Tetapi pada waktu itu Menteri Ben Bot hanya sampai mampu untuk menyatakan bahwa: "... maaf kami menyadari bahwa pada waktu itu Belanda terletak pada sisi yang keliru dalam sejarah itu."
Belum tegas
Permintaan maaf itu ternyata oleh pemerintah SBY dianggap cukup, sedangkan Nico Schulte Nordholt merasakan hal itu terlalu kurang. Mereka terdorong ingin meluruskan suatu kelalaian pada fihak Belanda.
Permintaan maaf itu kemudian diingkari dengan fakta oleh pemerintah yang sama, dengan tidak mengijinkan Ratu Beatrix hadir pada upacara 17 Agustus di Jakarta itu. Dualisme sikap ini menurut Nico Schulte Nordholt karena mereka takut menyakiti hari para veteran. Mereka menyadari bahwa ada sensitivitas pada pihak mereka.
Tidak perlu
Sementara itu sejarawan Rusdy Hussain mengatakan, pengakuan kemerdekaan karena ada riwayat perkembangan hubungan Indonesia Belanda setelah tahun 2000. Kedatangan Menlu Ben Bot tahun 2005 hanya berupa sebatas pengakuan kemerdekaan dan itu hanya bersifat sebagai suatu basa-basi. Yang dimintakan oleh kelompok itu adalah suatu pernyataan resmi, permintaan maaf dan inginnya sebetulnya de jure.
Sebetulnya, apapun bentuknya, hal itu tidak diperlukan lagi. Karena bagi bangsa Indonesia, 27 Desember 1949 saat penyerahan kedaulatan, adalah berakhirnya kolonialisme di bumi Indonesia. Jadi buat apa lagi? Dua negara sudah berada di dalam satu fase sejajar. Duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Pengakuan tidak diperlukan lagi.
Memang pengakuan cukup membanggakan tapi tidak ada esensinya buat bangsa Indonesia. Kalaupun ada pengakuan maka tidak akan ada tindak lanjut lagi. Segala bentuk ganti rugi juga tidak akan berlangsung. "Itu hanya untuk masyarakat Belanda, sebagai suatu pencerahan."
Sumber: Radio Nederland Wereldomroep
Tidak ada komentar:
Posting Komentar