SAMPAI tahun 1950-an (1950-1959) sejarah nasional Indonesia yang kita kenal sesungguhnya adalah
sejarah bangsa Belanda di Indonesia. Subyek pelaku dalam sejarah itu adalah orang Belanda dalam
menyelenggarakan aktivitasnya di Indonesia.Sejarah dengan subyek pelaku, setidaknya pelaku
utamanya, orang Belanda tentu berat sebelah, karena orang Indonesia dengan jumlah yang lebih besar,
hanya menjadi apendiks sejarah Belanda di Indonesia. Begitukah sejarawan Belanda, JC van Leur,
menyebutnya.
Sejarah semacam itu sering juga disebut sejarah Indonesia versi Belanda, jadi bersifat Belanda sentris.
Untuk mempelajari sejarah Indonesia yang Belanda sentris itu, Pemerintah Belanda telah menerbitkan
buku standarnya, yang berjudul Geschiedenis van Nederlandsch-Indie karya FW Stapel, yang terdiri atas
beberapa jilid tebal. Buku itu terbit sebelum perang.
Sementara itu dalam tahun 1949 HJ de Graaf menerbitkan buku Geschiedenis van Indonesie. Karya de
Graaf itu dapat disebut sinopsis dari buku Stapel. Buku de Graaf itu dijadikan sumber oleh Anwar Sanusi,
yang mulai tahun 1950 menerbitkan Sejarah Indonesia sebanyak tiga jilid, dan Sanusi Pane yang
menerbitkan Sejarah Indonesia sebanyak dua jilid pada tahun 1955.
Sebagai buku yang bercorak Belanda sentris, ia menggambarkan aktivitas kehidupan bangsa Indonesia
kalau ada kepentingan orang Belanda di dalamnya. Maka gambaran kehidupan dan aktivitas orang
Indonesia menjadi tidak utuh dan lengkap, meski aktivitas kehidupan orang Indonesia itu memang ada.
Kalau pun ada aktivitas kehidupan orang Indonesia tersangkut dengan aktivitas orang Belanda di
Indonesia, gambarannya kabur. Kata van Leur, hal itu terjadi karena gambaran itu dibuat oleh orang
Belanda dari jendela-jendela kapal yang mereka tumpangi dan kebetulan berhenti di pelabuhanpelabuhan
Indonesia.
Seminar sejarah nasional
Menyadari pentingnya sejarah sebagai sarana pembinaan rasa kebangsaan, orang Indonesia perlu
menulis sendiri sejarah Indonesia yang Indonesia sentris. Dengan demikian akan terlihat kegiatan dan
kehidupan orang Indonesia secara utuh dan lengkap.
Untuk persiapan penulisan diselenggarakan seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta dalam bulan
Desember 1957. Salah satu alasan memilih Yogyakarta adalah semangat kebangsaannya. Di antara
pokok yang dibicarakan ialah filsafat sejarah Indonesia dan periodisasi sejarah nasional Indonesia. Di
antara pembicaraan terdapat Muh Yamin, Soedjatmoko, R Muh Ali, Sukanto, dan Sartono Kartodirdjo.
Kesepakatan utamanya adalah tekat untuk menulis sejarah nasional Indonesia yang Indonesia atau
nasional sentris. Kecuali itu demi meningkatnya kemampuan meneliti dan menulis sejarah, sejumlah
sejarawan belajar keluar negeri untuk studi lanjut. Tokoh paling terkemuka hasil program itu adalah Dr
Sartono Kartodirdjo (lulusan Yale Amsterdam). Boleh disebut juga Soemarsaid Moertono (dari Cornell),
WJ van der Meulen (dari Yale), dan Wijono/Wiyono (St Louis).
Dengan pengembangan SDM bidang kesejarahan semacam itu diharapkan penelitian dan penulisan
sejarah nasional yang Indonesia sentris dapat diselenggarakan. Dengan begitu orang Indonesia tidak
sekadar menjadi konsumen sejarah bangsanya sendiri yang "diolah" oleh bangsa lain. Mereka juga tidak
akan menjadi "makelar", membeli ilmu di negara asing untuk menjual di negara sendiri.
Untuk menghasilkan kisah sejarah yang Indonesia sentris disepakati oleh sejarawan-sejarawan
Indonesia, yang umumnya masih muda, untuk menghasilkan makalah-makalah monografis. Kelak dalam
seminar sejarah nasional berikutnya, yang kedua, makalah-makalah itu akan dibahas. Seminar Sejarah
Nasional itu berlangsung kembali di Yogyakarta tahun 1970.
Sebagian dari sejarawan Indonesia, dipimpin oleh Prof Sartono Kartodirdjo, menyusun sejarah nasional
Indonesia dalam enam jilid, yang dimaksudkan sebagai buku standard (buku induk). Keenam jilid itu
adalah I Jaman Prasejarah; II Jaman Kuna; III Jaman Penyiaran dan berkembangnya kerajaan-kerajaan
Islam; IV Abad kesembilan belas; V Kebangkitan Nasional dan Berakhirnya Kekuasaan Belanda; serta VI
Jaman Pendudukan Jepang dan RI.
Buku induk itu sempat terbit empat kali, tahun 1975 sampai dengan 1984. Memang diakui oleh para
penyusunnya bahwa buku itu mengandung kekurangan. Meskipun demikian ada lebih baik dari pada
tidak ada. Penyempurnaan dapat dilakukan, antara lain, dalam bentuk suplemen-suplemen.
Artikel yang sekarang ini tidak terlepas dari keinginan untuk memberikan sumbangan pemikiran demi
penyempurnaan buku tersebut. Lebih-lebih dalam lima tahun terakhir ini muncul pandangan dari
masyarakat akan adanya penyimpangan-penyimpangan sejarah. Waktunya tepat karena bersamaan
dengan peringatan 100 tahun lahirnya Bung Karno, yang pada tahun 1966 pernah mengingatkan,
"Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" (populer dengan singkatannya Jasmerah).
Perlu diluruskan
Proses demokratisasi kehidupan sekarang mendorong keberanian untuk memeriksa dan menulis kembali
sejarah nasional yang tampak mengandung nuansa politik. Jelasnya ada rekayasa-rekayasa politik di
dalamnya yang memberi petunjuk terjadinya penyimpangan dalam penulisan sejarah.
Supaya saya berlaku adil, rekayasa penyimpangan itu tidak hanya terjadi pada zaman Soeharto, tetapi
juga pada zaman sebelumnya. Dalam ruang yang terbatas ini saya mengemukakan lima kasus.
Pertama, berkaitan dengan rekayasa Presiden Soekarno membuat mitos proklamasi, seperti
diceriterakan dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
(p. 317). Dalam percakapan dengan Sukarni Kartodiwiryo, terjadilah dialog sebagai berikut:
Bung Karno: "Di Saigon saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17".
Bung Karni: "Mengapa tanggal 17, tidak 16 sekarang?"
Bung Karno: "Angka 17 adalah angka sakti, yang lebih memberi harapan. Angka 17 keramat. Al Quran
diturunkan pertama tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat sehari. Maka hari Jumat Legi tanggal
17 Agustus saya pilih untuk menyelenggarakan proklamasi."
Keterangan Bung Karno seperti diringkas di atas tampak direkayasa. Karena itu tidak mustahil kalau
muncul kritik, antara lain dari Bung Hatta, supaya masyarakat membedakan antara Dichtung und
Wahrheit (khayalan dan kebenaran).
Kedua, perihal lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Ada pendapat ide Pancasila dasar filsafat negara
pertama kali dicetuskan Muhamad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Hal itu menimbulkan kesukaran karena Yamin dalam enam
tulisannya mengakui bahwa ide Pancasila sebagai dasar negara diperkenalkan pertama kali oleh Bung
Karno dalam sidang badan yang sama, pada tanggal 1 Juni 1945. Tulisan Yamin itu di antaranya Sistem
Filsafah Pancasila (1958) dan Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II (bukan jilid I), yang terbit tahun 1959.
Pengakuan Yamin itu diperkuat oleh kesaksian mantan anggota Badan Penyelidik, seperti RP Suroso
dan KH Masykur, dan informan seperti Abu Hanifah dan Adam Malik.
Lebih dari 30 tahun sejarawan dan penatar P4 tidak berani menyatakan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya
Pancasila dasar negara.
Ketiga, kontroversi peran golongan tua dan muda dalam proses Proklamasi 17 Agustus 1945. Golongan
tua, diwakili Hatta, menyatakan bahwa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sudah membuat
skenario proklamasi 16 Agustus 1945. Gara-gara ulah golongan muda penyelenggaraan proklamasi
kemerdekaan tertunda satu hari, yaitu menjadi 17 Agustus. Pada hal dalam situasi genting hitungan
waktu menjadi sangat penting.
Sebaliknya golongan muda, diwakili Adam Malik, menyatakan kalau tidak didesak-desak oleh golongan
muda, sampai September pun belum tentu proklamasi menjadi kenyataan. Dalam kontroversi itu tampak
juga adanya benturan antara Dichtung und Wahrheit. Kebenaran kiranya ada di tengah-tengah.
Keempat, kontroversi peran Bung Karno dan Bung Hatta dalam menghadapi agresi Belanda II tanggal 19
Desember 1948. Meski tercapai persetujuan Renville, 17 Januari 1948, para pemimpin RI tahu bahwa
persetujuan itu hanyalah gencatan senjata. Belanda pasti akan menyerang RI lagi sampai RI bubar.
Menghadapi ancaman itu Bung Karno dalam berbagai kesempatan menyatakan niatnya untuk langsung
memimpin perang gerilya. Pernah juga Bung Hatta menyatakan demikian. Tetapi, pada saat Belanda
mengawali agresinya yang kedua, 19 Desember 1948, kedua pemimpin dwitunggal itu bertahan di kota
dengan risiko ditawan. Memang begitulah yang terjadi kemudian.
Dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah ada sejarawan yang menyindir dengan menulis karangan
berjudul Jenderal Sudirman, Panglima yang Menepati Janjinya. Memang Bung Karno (Panglima
Tertinggi) dan Bung Hatta ditawan, Jenderal Sudirman (Panglima Besar) bergerilya. Bung Karno dan
Bung Hatta memang meyakini siasat diplomasi, lebih-lebih dengan terjadinya agresi kedua yang
disaksikan langsung oleh delegasi KTN (utusan DK-PBB) dari Kaliurang. Bung Hatta dan para
pendukung siasat diplomasi melihat agresi kedua langsung yakin Belanda sedang menggali lubang
kuburnya sendiri dan RI pasti menang. Hanya yang tidak paham makna diplomasi sajalah yang tidak
yakin RI pasti menang. Kontroversi itu harus diluruskan.
Kelima, hal Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan dekrit itu UUD 1945 diberlakukan kembali. Menurut UUD
1945, Presiden bukan saja kepala negara, tetapi sekaligus adalah kepala pemerintahan yang
bertanggung jawab kepada MPR. Ada yang menuduh dengan dekrit itu Presiden Soekarno melakukan
kudeta. Syukurlah ada sumber lain, misalnya, dari Hardi SH, mantan Wakil Perdana Menteri Kabinet
Karya pimpinan Djuanda, membuktikan tuduhan itu tidak benar. Menurut Hardi, Bung Karno tidak
meminati UUD 1945 karena ia harus bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hanya
karena dukungan begitu banyak partai dan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat, yang dipimpin
AH Nasution, Presiden Soekarno bersedia mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945.
Dari uraian di atas jelas dalam upaya menulis sejarah yang Indonesia sentris, masih dijumpai hal yang
kontroversial. Di dalam penulisan itu terdapat penyimpangan yang memerlukan pelurusan. Namun,
pelurusan itu jangan hanya dilakukan dengan membalik peran atau istilah, misalnya, terhadap Pangeran
Diponegara, Belanda menyebut pemberontak, kita menyebut pahlawan. Pemberontakan diganti
perlawanan, aksi polisional diganti agresi militer, atau Gestapu menjadi Gestok. Pelurusan itu harus
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah dalam metode sejarah seperti dalam paragraf berikut.
Metode sejarah
Langkah-langkah dalam metode sejarah adalah sebagai berikut:
1 Heuristik: penemuan sumber yang dapat memberi informasi, berupa peninggalan, dokumen, pelaku,
saksi dan informan; 2 Kritik sumber ekstern berkaitan dengan asal informasi dan masalah kesejatian
sumber (otentisitas sumber); 3 Kritik sumber intern, yang berkenaan dengan kebenaran isi sumber
(informasi); 4 Interpretasi dengan analisis (informasi diuraikan) dan sintesis (informasi dibandingkan dan
dipadukan); 5 Koroborasi, yang berarti pengukuhan sumber, misalnya dengan wawancara atau dokumen
asing; 6 Historiografi (penulisan sejarah) modern, yang kritis dan ilmiah-nasional sebagai lawan dari
historiografi yang tradisional dan kolonial.
Historiografi mesti mengikuti langkah satu sampai lima. Jadi informasi yang diperoleh harus dikaji,
barulah kemudian dimanfaatkan. Begitulah kita menanggapi ajakan Bung Karno dalam pidatonya
"Jasmerah", sekaligus ajakan masyarakat untuk meluruskan sejarah.
thanks....
BalasHapus