KELEMAHAN dalam pendidikan sejarah di Indonesia semasa Orde Baru merupakan bagian dari
kekurangan sistem pendidikan secara keseluruhan di Tanah Air. Masalah kualitas guru dan persekolahan
menimpa bukan saja bidang sejarah tetapi juga menyangkut pengajaran mata pelajaran lainnya. Tulisan
ini hanya membahas persoalan yang berkenaan dengan pendidikan sejarah dan lebih khusus lagi
mengenai teks untuk pendidikan sejarah. Uraian berikut ini berkaitan dengan tiga hal, yaitu Suplemen
bagi Guru Sejarah, Buku Sejarah Indonesia dan Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Sejarah.
***
SETELAH Soeharto berhenti jadi presiden, Mei 1998, wacana sejarah yang berkembang di masyarakat
berbeda dengan apa yang tertulis dalam sejarah resmi atau yang diajarkan di sekolah. Agar tidak
membingungkan masyarakat, termasuk siswa, tahun 1998 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Depdikbud, ketika itu) Juwono Sudarsono menugaskan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI)
menyusun suplemen bagi guru untuk menjelaskan beberapa peristiwa sejarah kontroversial. Tindakan itu
diambil karena mengubah buku pelajaran sejarah akan memakan waktu lama. Penyusunan suplemen itu
telah dilaksanakan MSI, namun belum selesai pada waktunya.
Oleh karena itu, tahun 1999 Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud menerbitkan "Pedoman
Bahan Ajar Sejarah Bagi Guru SD, SLTP dan SMU". Penyusunnya berasal dari Universitas Gadjah Mada
(UGM), Universitas Indonesia (UI), IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia/UPI), IKIP
Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta/UNJ), dan Pusat Sejarah ABRI. Sebagian anggota tim ini
juga merupakan anggota tim MSI.
Di dalam pedoman itu dijelaskan secara singkat tentang Serangan Umum 1 Maret, Gerakan 30
September (G30S), Supersemar, awal Orde Baru, dan Timor Timur (Timtim). Masing-masing penjelasan
itu ternyata masih kontroversial. Misalnya, Sultan Hamengku Buwono (HB) IX belum diakui sebagai
pencetus Serangan Umum 1 Maret 1949, tetapi dikatakan bahwa serangan itu bagian strategi Markas
Besar TNI Angkatan Darat. Seyogianya suplemen itu ditarik kembali dan bahan yang dibuat oleh MSI
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
***
PADA masa Orde Baru dikenal buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI). SNI itu merupakan "babon" atau
buku pegangan bagi guru dan bagi penulis buku pelajaran yang digunakan di sekolah. SNI yang terdiri
dari enam jilid, kemudian diperluas menjadi tujuh jilid, itu menjelaskan sejarah Indonesia sejak dari masa
purbakala sampai Orde Baru.
Kini SNI itu akan ditulis ulang, bukan sekadar direvisi. Mengingat ini merupakan "tugas nasional",
sebaiknya beberapa hal perlu dipertimbangkan secara matang. Pertama, penyusunan buku standar ini
dilakukan pada masa krisis ekonomi dengan anggaran yang terbatas. Kalau dananya tidak mencukupi,
sebaiknya tidak dikerjakan seluruh periode (dari purbakala sampai sekarang), tetapi penulisan mengenai
masa Orde Baru (1965-1998) yang didahulukan.
Kedua, sejarah Indonesia yang dulu "Jawa sentris" itu akan diubah. Unsur daerah akan lebih banyak
ditampilkan. Keterwakilan sejarawan daerah sebagai penyusun diperhatikan, namun yang lebih penting
adalah aspek kualitas tulisan.
Ketiga, buku ini merupakan-meminjam istilah awal Orde Baru-"koreksi total" terhadap jilid-jilid dalam SNI
yang pada era reformasi ini dianggap "bermasalah". Apakah penulis yang terlibat pada masa lalu itu
diikutkan juga dalam tim penulisan sekarang? Apa pun keputusan yang diambil, masyarakat yang nanti
bisa menilai.
***
SEJAK tahun lalu, Departemen Pendidikan Nasional telah mengujicobakan kurikulum berbasis
kompetensi pada beberapa sekolah. Karena kurikulum tersebut merupakan kurikulum pengganti dari
yang sebelumnya (1994), terlebih dulu hendaknya dijelaskan dalam bagian pendahuluan atau latar
belakang ihwal alasan perubahan atau penggantian kurikulum tersebut. Mengapa dipilih kurikulum
berbasis kompetensi? Kurikulum ini diadaptasi dari (negara) mana? Mengapa yang dipilih (negara) itu?
Juga tidak jelas yang ditargetkan itu apakah kompetensi siswa atau guru. Bagaimana bisa mendidik
siswa memiliki kompetensi kalau gurunya sendiri tidak kompeten? Terlepas dari kritik umum tersebut,
khusus untuk bidang sejarah, pemilihan bahan-bahan yang diajarkan perlu dikaji kembali secara
menyeluruh. Bukan saja menyangkut materi, tetapi juga sistematika dan kronologi penyajian. Misalnya,
pelajaran sejarah Indonesia sekarang ini dimulai dengan mengajarkan tentang pengaruh budaya luar
(Hindu, Buddha, Islam, dan Eropa).
Prof Taufik Abdullah menyarankan hendaknya pelajaran sejarah dimulai dari Proklamasi kemerdekaan
tahun 1945. Kemudian baru dirunut ke belakang. Itu adalah salah satu alternatif. Pilihan lain, menurut
hemat saya, adalah menjelaskan lebih dulu tentang asal-usul bangsa Indonesia. Semuanya itu masalah
besar yang perlu didiskusikan secara serius dan berkala.
Beberapa hal dalam kurikulum itu perlu dikomentari, seperti pada kompetensi kelas 5 SD ditulis,
"Membandingkan pengaruh Hindu, Buddha, dan Islam di Indonesia". Sebetulnya ada empat nebula
budaya yang mempengaruhi Indonesia, yaitu yang berasal dari India (Hindu dan Buddha), Arab (Islam),
Cina, dan Eropa (Kristiani)-lihat buku Nusa Jawa karangan Denys Lombard. Budaya Cina ini selama
Orde Baru tidak boleh disebut. Padahal budaya yang dikembangkan orang Cina itu sangat penting bagi
kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya budaya ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pada
abad ke-17 dan ke-18 orang Cina yang mengembangkan teknologi penyosohan padi di Batavia.
Teknologi pembuatan arak, garam, dan tambak dikembangkan oleh orang Cina. Kapal-kapal yang ada di
Nusantara sebagian memanfaatkan teknologi yang berasal dari Cina. Ini merupakan "sejarah terlarang"
selama pemerintahan yang lampau. (Ingat buku Slamet Mulyana yang mengatakan Wali Songo berasal
dari Cina langsung dilarang oleh Kejaksaan Agung).
Pada kompetensi kelas 5 SD juga tercantum, "Siswa mampu menganalisis kekejaman Jepang saat
menduduki Indonesia". Gunanya untuk apa? Kesan saya karena Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Yogyakarta menuntut agar kasus Yugun Ianfu dimasukkan ke dalam buku sejarah, secara otomatis Pusat
Kurikulum meresponsnya. Sebetulnya kekejaman pada masa Orde Baru jauh lebih penting untuk
dikemukakan.
Yang paling penting dari semua itu adalah alasan perubahan kurikulum. Dikatakan bahwa kurikulum
sebelumnya terlalu sentralistik, materi berlebihan, dan ada tumpang-tindih pada jenjang pendidikan yang
berbeda. Yang tidak boleh dilupakan bahwa kurikulum itu perlu dirombak karena pada masa Orde Baru
telah terjadi penyelewengan fakta-fakta sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar